Belum lama ini, Indonesia baru saja dikejutkan dengan datangnya kabar duka dari gunung Semeru yang memuntahkan awan panasnya sejauh 17 km, seteleh beberapa hari sebelumnya bencana gempa bumi melanda Cianjur. Berdasarkan laporan dari BNPB, bahwa telah terjadi 2.860 peristiwa bencana alam selama periode 1 Januari – 18 Oktober 2022 di Indonesia, dengan korban yang terdampak sebanyak 3.593.497 orang. Berdasarkan jumlah korban terdampak tersebut, terhitung 99,97% atau sebanyak 3.592.471 orang berstatus mengungsi dan menderita.

Banyaknya peristiwa atau bencana alam yang terjadi, seakan mengharuskan untuk selalu waspada akan bencana alam yang mungkin saja terjadi tanpa mengenal waktu. Tak hanya itu, kewaspadaan juga harus ditingkatkan terkait potensi penyakit yang umum terjadi pasca bencana alam yang mungkin menyerang para korban. Penyakit yang umumnya muncul dalam kondisi bencana alam antara lain:

1. Diare

Masalah kesehatan yang biasa muncul dalam kondisi bencana alam adalah diare. Umumnya, diare ditandai dengan rasa nyeri dan kram pada perut, feses yang lembek atau cair, mual, muntah, kehilangan nafsu makan, terdapat darah pada feses, selalu merasa haus dan nyeri kepala. Penyakit diare ini sangat mudah untuk menular di area pengungsian para korban bencana, serta wilayah dengan sanitasi air yang buruk.

2. Campak

Jika diare merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada saluran pencernaan. Campak atau rubeola adalah penyakit infeksi saluran pernapasan yang sangat mudah menular, apalagi di area pengungsian para korban bencana.

Virus paramyxovirus merupakan penyebab dari penyakit campak. Dalam proses penularannya, virus ini menyebar melalui percikan liur ketika bersin ataupun batuk. Selain itu, virus ini juga mudah menempel pada benda-benda yang berada di sekitar serta mampu bertahan hingga beberapa jam. Hal tersebut menyebabkan orang yang tidak sengaja menyentuh benda yang telah terkontaminasi tersebut, mempunyai potensi yang besar untuk tertular.

Gejala campak yang umumnya terjadi berupa gejala flu dengan timbulnya ruam pada kulit di seluruh tubuh, demam tinggi, diare, mual dan muntah, mata memerah dan menjadi lebih sensitif terhadap cahaya, serta hilangnya selera makan hingga munculnya bercak kecil berwarna putih keabu-abuan di mulut dan tenggorokan.

3. Masalah gizi

Terdapat penelitian yang menjelaskan, bahwa balita memiliki risiko kematian 2 hingga 3 kali lebih besar yang hidup dalam pengungsian korban bencana, terutama usia 0 – 6 bulan bila dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Hal tersebut disebabkan karena bayi atau balita membutuhkan penanganan gizi khusus. Sehingga apabila tidak mendapatkan perhatian yang baik, bisa mengakibatkan gizi buruk, marasmus, juga kwashiorkor.

Tak hanya itu, masalah gizi lainnya yang kerap dialami oleh bayi di area pengungsian bencana adalah bayi yang terpisah dari ibunya, sehingga bayi tersebut tidak memperoleh Air Susu Ibu (ASI).

Kemudian, penyebab lain masalah gizi pada bayi juga disebabkan oleh terlambatnya bantuan makanan, makanan yang dikonsumsi tidak cocok oleh bayi dan balita, terbatarnya ketersediaan pangan lokal, datangnya bantuan makanan dari luar negeri yang tidak memiliki label yang jelas, tidak memiliki label halal hingga melampaui tanggal kadaluarsa.

Hal yang perlu diwaspadai adalah mudahnya virus untuk menular karena kondisi pengungsian yang terlalu padat, lingkungan hingga sanitasi yang buruk, sulitnya memperoleh makanan dan sulitnya ketersediaan air bersih. Download aplikasi IHC Telemed di App Store dan Google Play dan nikmati layanan konsultasi langsung dengan dokter IHC dimanapun dan kapanpun. IHC Telemed, sehat dalam genggaman.